.
Tak adil rasanya, jika aku harus menghindari perih, yang jelas-jelas sudah menunggu didepan pintu. Tak perlu rasanya mencari keramaian, menyingkirkan barang-barang, atau bahkan menghapus setapak demi setapak, jejak yang pernah kau toreh disini. Semua itu hanya akan menguras tenaga, mengoyak hati, bahkan celakanya, terasa hanya seperti membodohi diri sendiri. Karena semakin kuat kau berusaha membuang kepedihan itu, semakin cepat dia berlari kearahmu, untuk kembali menghantam, dengan benturan yang dua kali lipat lebih keras rasanya.
Jadi duduk sajalah, menangis sajalah sekeras yang kau bisa. Nikmatilah setiap lekuk perih yang meluluhlantakkan rongga-rongga jiwamu, menelusuk hingga relung nafas yang terdalam. Tak perlu kau berlindung dibalik tirai keramaian, karena memang niscaya tak ada yang bisa mengelak dari kepedihan, bahkan ksatria terbaik pun berhak untuk berdarah.
Kau memang telah pergi, tapi tak seberapa jauh, kita hanya terpaut ruang dan dimensi, yang sebenarnya tak lebih jauh dari pelupuk mataku. Konon, keindahan itu hanya bisa terlihat saat kau terpejam. Jadi, kapanpun aku membutuhkanmu, aku hanya perlu memejamkan mata sejenak, menghirup nafas panjang, dan seketika itu pula, kau hadir dengan sejuta senyum yang begitu menenangkan.
Wahai seluruh perih, datanglah kalian malam ini, masuklah kedalam sini, koyak habis seluruh jiwa yang tersisa, karena bukan kepadamu aku menyerah. Dan saat kalian telah selesai, saat itulah aku akan bangun, untuk segera mengecup mimpi-mimpi.
Acho.