5

Ksatria Terbaikpun Berhak untuk Berdarah

.
Tak adil rasanya, jika aku harus menghindari perih, yang jelas-jelas sudah menunggu didepan pintu. Tak perlu rasanya mencari keramaian, menyingkirkan barang-barang, atau bahkan menghapus setapak demi setapak, jejak yang pernah kau toreh disini. Semua itu hanya akan menguras tenaga, mengoyak hati, bahkan celakanya, terasa hanya seperti membodohi diri sendiri. Karena semakin kuat kau berusaha membuang kepedihan itu, semakin cepat dia berlari kearahmu, untuk kembali menghantam, dengan benturan yang dua kali lipat lebih keras rasanya.
Jadi duduk sajalah, menangis sajalah sekeras yang kau bisa. Nikmatilah setiap lekuk perih yang meluluhlantakkan rongga-rongga jiwamu, menelusuk hingga relung nafas yang terdalam. Tak perlu kau berlindung dibalik tirai keramaian, karena memang niscaya tak ada yang bisa mengelak dari kepedihan, bahkan ksatria terbaik pun berhak untuk berdarah.
Kau memang telah pergi, tapi tak seberapa jauh, kita hanya terpaut ruang dan dimensi, yang sebenarnya tak lebih jauh dari pelupuk mataku. Konon, keindahan itu hanya bisa terlihat saat kau terpejam. Jadi, kapanpun aku membutuhkanmu, aku hanya perlu memejamkan mata sejenak, menghirup nafas panjang, dan seketika itu pula, kau hadir dengan sejuta senyum yang begitu menenangkan.
Wahai seluruh perih, datanglah kalian malam ini, masuklah kedalam sini, koyak habis seluruh jiwa yang tersisa, karena bukan kepadamu aku menyerah. Dan saat kalian telah selesai, saat itulah aku akan bangun, untuk segera mengecup mimpi-mimpi.

Acho.
0

Kamu.

.



Selain luka,
ada yang lebih menyakitkan malam ini;
sebatang rindu,
dan 
secangkir ingatan tentangmu.


.
0

Tentang Kamu dan Harapan Bisu

.


       Ada tawa yang pecah saat lukaku kembali basah. Tapi, diam-diam semesta sedang mengais secarik harapan yang masih tersisa, dari lembaran usangnya. Yang selalu mengharapkan kau mengerti akan alur cerita yang dibuatnya. Di hujan malam ini, bulir-bulir airnya mengisyaratkan sebuah kesedihan. Tentang air mata yang mengalir ke pusara, bukan untuk kau ulang, namun untuk kau tertawakan, nantinya.


       Kamu. Adalah harapan itu. Sebuah nyanyian Tuhan tentang kebahagiaan, bahwa semuanya pasti ada ujungnya, kesedihan pun. Tuhan itu pencinta keseimbangan. Itu alasan mengapa kau datang, yang bahkan dengan sangat tiba-tiba. 


       Semoga kau lekas mengerti, tentang alasan adanya barisan aksara ini. Sebuah frasa biru yang beraroma pilu, yang akhirnya menjadi muara setiap bait doaku, akan kamu. Aku tahu, mungkin tidak mudah untuk mencapaimu, tapi jika mudah, itu pilihan, bukan tujuan atas semua harapan. Entah.

       Kepalaku terasa mau pecah, disetiap sudutnya ada goresan tentangmu. Belum lagi dadaku, buncahan kebahagiaan setiap kali ada namamu dalam alunan detik jam yang bisu. Dan bibirku pun kaku, setiap kita mulai pembicaraan, tentang hal yang bukan tentang kita. Namun, aku mulai menikmati setiap detail keganjilan ini. Semua terasa sempurna, lagi.

       Kamu tahu? Asaku ranum dipelupuk tawa kita. Rinduku meluap setiap aku dengar cerita tentangmu, tentang hari-harimu. Tulisan-tulisanku kembali bernyawa. Bukan tentang kesunyian, bukan tentang air mata, bahkan kesedihan, mungkin sudah berlalu. Semuanya tentang kamu.

       Rasa ini tak pernah salah, pun Tuhan. Aku hanya mampu menuliskannya, yang bahkan hujan pukul dua belas malam ini mengiyakan. Masih ada tanya yang belum terjawab. Semoga kau akan menjadi tempatku pulang, tempat dimana semua keakuanku bermuara. Semoga.




Dalam lantunan doa, 29 September 2013.


0

Beberapa Hal yang Mesti Kau Catat lalu Kau Baca saat Merasa Sendiri

.


Ada yang diam-diam ingin disapa olehmu. Percayalah.

Ada yang mengharap pertemuan kedua, setelah matamu mendarat di matanya, tanpa aba-aba. Ada yang setiap hari terbangun buru-buru, demi sebuah frasa ‘Selamat pagi’ dari bibirmu. Ada yang tak pernah berhenti mencatat. Sebab, setiap kalimatmu adalah peta. Ia tak mau tersesat.

Ada mata yang berbinar sempurna dalam tunduk sipu, tiap kau sebut sebuah nama, miliknya. Ada yang mengembangkan sesimpul lengkung di bibirnya, di balik punggungmu, malu-malu. Ada yang memilih terduduk saat jarakmu berdiri dengannya hanya beberapa kepal. Lututnya melemas, tiba-tiba. Ada yang tak pernah melepas telinganya dari pintu. Menunggu sebuah ketukan darimu.

Ada yang dadanya terasa berat dan kau tak pernah tahu, saat kau tak tertangkap matanya beberapa waktu. Ada yang pernah merasa begitu utuh, setelah kaki-kaki menjejak jauh darinya. Sekarang, runtuh.

Ada yang diam-diam mendoakanmu, dalam-dalam.

Percayalah.




oleh Ndigun dalam Opera Aksara
0

Pagi Yang Sempurna

.


Selamat pagi, Mata.
Apa aku terlambat mengucapkannya?

Pagi selalu sempurna untuk sebuah awal yang terjaga.
Harapan itu, dan segala apapun tentangmu.
Dulu, ada satu keajaiban yang membangunkanku dari ruang hampa,
dan kamulah orangnya.
Kini, aku masih percaya, akan ada keajaiban kedua.
Siapa lagi kalau bukan kamu muaranya.


Dear you, Emka.


.
0

Tentang Ketiadaan Kita

.


Apa kamu pernah mendengar cerita tentang senja?
Bersama luka yang selalu mengiringinya, berjalan pelan di bawah lampu kota.
Temaramnya meniadakan air mata yang mulai meluluhlantahkan cinta.

Apa kamu pernah mendengar cerita tentang angin malam?
Dia yang selalu berjalan sendirian, dengan tangisan-tangisan air mata senja yang kering sebab pengabaian.

Apa kamu pernah mendengar cerita tentang pagi?
Secangkir kopi, batang tembakau, dan angin malam yang selalu dilupakan, seakan tak pernah ada.

Apa kamu pernah mendengar cerita tentang kita?
Sebuah asa yang seharusnya tak ada.
Biarkan senja, angin malam, dan pagi yang mengingatkan ketiadaannya.

dan kamu,
tak perlu kamu tahu apa-apa.
Bahagia saja untukmu disana, semoga.




Kolong Malam, 30 Agustus 2013



0

Sebuah Catatan Pagi

.

Berbahagialah,
nikmati apa yang sudah kamu temukan.
Jika lukamu datang, kembalilah, ada aku yang akan menyembuhkan.
Lalu pergilah ulang, nikmati apa yang kembali kamu temukan; lagi.

Ada yang sedang tertatih pedih.
Dia yang masih setia mencintai lukanya.
Dia yang masih berharap pada kerelaan Tuhan di setiap penghujung doanya.
Menunggu sesuatu yang tak kunjung pulang.

Tidak ada yang aku takutkan akan kepergianmu,
sebab jika suatu hari engkau datang, lagi,
kamu tidak akan pergi terlalu jauh.


Sebuah pagi, Agustus 2013.

.
0

Untuk Seorang Gadis Berkacamata

.

      Di sebuah sore, kala senja tutup tirai. Saat lampu kota mulai menggantikan lelah peluh matahari. Klakson-klakson mobil yang membuat telinga pekak. Lelah putus asa menggantung di mata pengguna jalan. Di saat seperti itu, Tuhan mengirimkan kamu; seorang gadis berkacamata. Dengan mata tajam sempurna, rambut panjang terurai, jam tangan merah jambu, dan wajah khas oriental. Ah, sungguh aku lemah terhadapmu.

      Untuk seorang gadis berkacamata. Aku mulai kepayahan mencari cara untuk bisa mengenalmu. Buntu. Aku sangat pandai mengingat; tentang apa-apa yang pernah terjadi, terlebih pada cangkir kopi yang selalu menemani, setiap pagi. Tentang sore yang selalu dilewati dengan nyanyian peluh senja, dan tentang malam, yang dalam dekapannya, semua mimpi anak manusia dipeluknya. Namun apa, ketika tentangmu, otakku berhenti bekerja dan hatiku mati rasa.

      Untuk seorang gadis berkacamata. Mungkin tentangmu hanya secuil keajaiban yang coba Tuhan tunjukkan melalui hal yang tak dinyana, bahwa di tempat yang tidak biasa selalu ada hal yang luar biasa yag bisa Tuhan ciptakan. Kamu yang tak tersentuh. Kamu yang aku tak sempat bertanya nama indahmu. Kamu yang bermata indah. Kamu yang berkacamata.

      Untuk seorang gadis berkacamata. Semoga Tuhan sudah menyiapkan pertemuan-pertemuan kita selanjutnya. Jika tidak, setidaknya ukiran tentangmu sudah kuabadikan dalam tulisan. Bersama harapan semuku, aku menunggumu.


Disebuah senja sore, Agustus 2013.

.
Back to Top